Advertisement

KESAKTIAN OMNIBUS LAW, SEKALI MENDAYUNG SEMUA ORANG TERANCAM



Oke, seharusnya ini sudah diposting dari seminggu yang lalu, tapi apa dayaku rebahan ternyata lebih mengasyikan dari pada harus berlama-lama di depan laptop sambil mengetik setiap pikiran yang ada di dalam kepala ku. Buat kawan semua, saya mohon jangan ditiru kebiasanku yang satu ini. Kalian tak akan kuat, biar Aku saja.

Saat inilah saya memiliki kesempatan buat menyelesaikannya. Meskipun sudah banyak ulasan mengenai topik ini baik di media massa elektronik ataupun melalui kegiatan dialog yang dilaksanakan berbagai kelompok akedemisi ataupun LSM tapi mengulas persoalan ini masih saja menarik terlebih hal ini menjadi pembahasan yang menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Baik, sebelum pembahasanku menjadi ngawur dan tak jelas arahnya mending saya jelaskan dulu pengertian omnibus law. Semenjak dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-Amin, saya merupakan salah satu orang yang kebingungan untuk mengartikan istilah ini. Omnibus law itu apaan yah? Baru dengar saya.
(Maklum bukan anak hukum)

Setelah memanfaatin pulsa data dan kehebatan mesin pencari google akhirnya kebingunganku pun terjawab, meski tak tahu pasti apa saya betul-betul mengerti dengan semuanya. Bayangkan saja, Man! Omnibus law itu satu metode hukum yang mengulas, mengamandemen, dan memperbaiki berbagai macam topik perundangan-undangan yang diangap bermasalah dalam satu pembahasan. Tahulah Man produk undang undang di Indonesia ini ada berapa banyak jumlahnya, diulas secara serentak dan disahkan untuk menjadi peraturan baru.

Membahas satu topik perundangan-undangan saja, para wakil rakyat sudah mulai titip absen, bagaimana jika itu ditumpuk dan dibahas dengan waktu yang singkat? Kira-kira kualitas produk peraturannya, gimana? Belum lagi drama korea yang terjadi saat sidang, pura-pura ngambek padahal ada maunya. Ah sudahlah, kita rakyat kecil bisa apa?

Tujuan pemerintah sih katanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, biar bisa meroket . Selama ini diangap, pertumbuhan ekonomi kita tak bisa meroket tinggi karena ada beberapa kendala terkait regulasi yang menjadi penghambat investor untuk mau menanamkan modalnya di dalam negeri. Birokrasi yang ribet serta regulasi yang tumpang tindih merupakan sekian dari alasan kenapa penerapan omnibus law ini menjadi perlu. Kecepatan penyelesaian regulasi bermasalah menjadi salah satu kelebihan dari konsep omnibus law ini.

Jika ini berhasil disahkan maka yang terjadi itu, investasi hadir, lapangan kerja terbuka, rakyat punya penghasilan, bisa beli ini dan itu, ekonomi terbangun, sejaterahlah negeriku, NKRI harga Mati. MERDEKA.

Enak yah, kalau seperti ini? Tapi tunggu dulu apa betul dan bisa seperti itu?

Saat ini pemerintah telah mengusulkan 2 draf terkait perundang-undangan omnibus law ke DPR RI yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU tentang perpajakan. Untuk kali ini saya akan membahas RUU Cipta kerja saja dulu, soal RUU perpajakan kita simpan dulu, bukan berarti itu tidak penting buat dibahas tapi karena keterbatasan waktu dan otak saya yang tak bisa menampung semuanya jadi saya akan fokus dulu mengenai RUU Cipta Kerja.



RUU Cipta Kerja dan Dampakanya

RUU Cipta Kerja sendiri merupakan rancangan undang-undang yang terdiri dari 11 klaster persoalan dengan total undang-undang yang akan menjadi pembahasan ada 79 undang - undang.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa alasan pemerintah mengusulkan omnibus law ini adalah ingin merapingkan regulasi, memperbaiki aturan yang tumpang tindih serta ada penyederhanaan peraturan biar tepat sasaran, semua ini bertujuan biar investor tak kesulitan buat menanamkan modalnya hadir di Indonesia.

Demi memberikan rasa nyaman dan kemudahan bagi inverstor maka pemerintah mau mengamandemen sejumlah regulasi yang selama ini krusial. Sebut saja persoalan ketenagakerjaan, persoalan izin usaha, persoalan penataan ruang dan masih banyak lagi deh kalau mau diulas satu persatu.


Nasip Tenaga Kerja


Selama ini disangkahnya tenaga kerja itu hanya dicirikan buruh yang berkerja di pabrik-pabrik yang pengap tanpa AC, buat yang sekarang yang lagi kerja di ruangan berAC, bersetelan jas dan dasi, memiliki ruang kerja berAC plus kursi yang empuk juga buruh loe. Jadi mengangap omnibus law tak akan banyak berpengaruh terhadap masa depan kerja mu, itu salah besar. Jadi tak perlu ngeluh deh, kalau ada serikat buruh yang lakukan demonstarasi penolakan terhadap kebijakan ini membuat anda terlambat masuk kantor.

Kalau dulu anda merasa terjamin dengan gaji perbulan saat nanti omnibus law ini disahkan anda hanya gaji anda dapat ditetapkan l berdasarkan jam kerja saja, buat pekerja perempuan (pekerja yang kenakan jas dan rok angun harus nyadar diri) apa lagi kalau masih status pegawai kontrak bisa-bisa seumur hidup kalau kerja masih dengan status kontrak melulu tanpa ada jaminan anda akan diangkat menjadi pegawai tetap , belum lagi gaji anda akan dipotong karena cuti haid, hamil atau mau nikah. Ndak percaya? Bandingkan saja draf usulannya pasal 59 ayat 1 dengan pasal sebelumnya yang mengatur soal ini. Dihapuskanya pasal 66 tentang outsorcing, membuat outcorcing kini tak dibatasi hanya pada pekerja yang dapat menunjang aktifitas produksi tapi sekarang dapat dibuka seluas-luasnya untuk semua lini pekerjaan, potensi buat di PHK menjadi berpeluang terjadi besar-besaran apalagi aturan PHK sekarang diberikan izin ke atas dasar pertimbangan efesiensi perusahaan. Berat deh kalau jadi pekerja nanti sudah sulit kerja banting tulang tapi tak ada jaminan mengenai status pekerja, setiap hirup napas, PHK selalu menghantui. Ini lebih parah dari bayangan seorang mantan.

Lingkungan hidup, Tata Ruang dan Konflik Aglaria


Indonesia sendiri merupakan lokasi wilayah yang berpotensi untuk terjadi bencana alam. Kejadian bencana alam bila terjadi tentu dapat menimbulkan korban jiwa dan kehilangan jumlah materi yang sangat banyak namun bencana tidak saja terjadi akibat dari alam itu sendiri, hal ini dapat disebakan juga tata kelola lingkungan hidup yang buruk.

Kerusakan lingkungan dapat menjadi potensi tinggi rendahnya rasio bencana alam tejadi. Menurud data World Risk Report (2012) Indonesia memiliki rasio kerentanan bencana berdasarkan indeks resiko bencana dunia berada di peringkat ke - 33 atau 10, 74 %. Meski angka ini masih dibawah Vanuatu (63,66 %), Tonga (55,27 %) dan Filipina (52,46 %) yang menempati peringkat teratas resiko bencana, namun saya sebagai warga negara yang masih belum nikah tak ingin mati dengan status bujang, tak ingin mati seperti saudara saudara saya yang menjadi korban lumpur Lapindo ( Al- fatihah buat para korban). Lapindo hanya salah satu saja bencana alam yang terjadi akibat buruknya tata kelolah lingkungan hidup.

Demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah dan pihak pelaksana (swasta) proyek pembangunan begitu leluasa mengobrak abrik alam Indonesia. Belum lagi dalam proses pelaksanaanya sering menimbulkan persoalan seperti pemcaplokan tanah warga sekitar pembangunan secara paksa.

Sepanjang tahun 2018 menurud catatan KPAI telah terjadi 410 kejadian konflik aglaria dengan luasan kawasan mencapai 807.177.613 Ha yang melibatkan 87.566 KK di berbagai provinsi Indonesia. Pembangunan yang memiliki sumbangsi terbesar terhadap terjadinya konflik yaitu sektor kehutanan dengan luasan lahan 65.669.53 Ha, pesisir/kelautan 54.052, Ha, pertambangan 49.692,6 Ha, properti 13.004, 763 Ha, dan inftrastruktur 4.859, 32 Ha.

Harus dicatat, angka - angka kejadian konflik agraria serta sejumlah kekerasan dan dampak buruk terhadap lingkungan itu terjadi tahun 2018. Sekali lagi saya ingatkan itu terjadi tahun 2018 sebelum adanya draf RUU Cipta kerja.

Bagaimana dengan isi draf RUU Omnibus Law? Apakah angka-angka kejadian ini akan menurun atau bahkan dapat meningkat?

Saya sendiri akan pesimis jika melihat pasal-pasal di RUU cipta kerja khususnya persoalan ini. Berubahnya dan bahkan hilangnya sejumlah pasal dalam draf RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi ini. Jika dulu dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), badan/instansi harus dapat mengantongi terlebih dulu Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebelum dapat Izin Lingkungan. Kini dalam drafnya, AMDAL hanya berlaku bagi pembangunan yang memiliki dampak resiko paling berpengaruh. Apa lagi status AMDAL hanya sebagai pelengkap bukan lagi menjadi prasyarat bagi terlaksananya suatu aktifitas pembangunan sehingga pembangunan dapat lebih dulu dilakukan meski analisis AMDAl nya bisa hadir belakangan. Padahal status AMDAL dalam UU nomor 32 tahun 2009 merupakan instrumen yang pior approval yang merupakan syarat pertama yang syarat utama yang harus terpenuhi jika tanpa itu maka izin pelaksanaan pembangunan tak bisa dilakukan. Jika melihat draf RUU Cipta kerja, AMDAL sudah mengalami penreduksiaan.

Belum lagi persoalan terkait tata ruang. Terdapat perubahan dan penghapusan dalam undang - undang ini. Jika dulu perencanaan, pelaksaan dan pengawasan pengendalian tata ruang, daerah dan provinsi memiliki andil untuk mengurusi hal ini, kini yang terjadi adalah pemusatan kebijakan hanya berada di pemerintah pusat ( pasal 18 RUU Cipta Kerja). Sentarlistik bangat lah. Pokoknya apa apa pemerintah pusat. Padahal semangat UU penataan ruang ini salah satunya adalah ingin menghilangkan proses pembangunan yang pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto saat berkuasa. Perencanaan pmbangunan yang terpusat terbukti hanya melahirkan setumpuk kebijakan yang tak bisa menyerap aspirasi dari daerah-daerah dibawahnya. Atau mungkin dipikirnya dengan gaya presiden yang hobby blusukan dapat menyerap seluruh keinginan masyarakat di daerah sehingga begitu PD dapat lakukan hal ini? Top lah.

Iya sih, memang masih terdapat kebijakan pembangunan yang saling tumpang tindih terlebih jika pembangunan atau kebijakan itu memberikan dampak lintas wilayah, masih saja terdapat pembangunan atau kebijakan antar daerah yang saling bertolak belakang, tapi ini bukan menjadi alasan sehingga semua kekurangan ini diselesaikan dengan mengambil alih secara keseluruhan dan menjadi tangung jawab pemerintah pusat. Kan seharusnya bisa diperkuat dengan koordinasi yang intens antar lintas daerah.

Kalau semua pusat yang memutusakan itu gaji Bupati dan Gubenur dibayar buat ngapain?
Selain itu hilangnya pasal yang mengatur soal kawasan strategis daerah dan provinsi serta rencana kawasanan perdesaan.
Untuk pasal ini saya kurang paham. Kita tunggu saja para ahli untuk menjelaskanya.

Selama ini izin lingkungan, IMB, AMDAL, RTRW dianggap sebagai instrumen kebijakan yang menghambat lamanya proses pembangunan, padahal dengan adanya sejumlah perangkat aturan seperti ini pihak pelaksana kegiatan memiliki jaminan kepastian hukum dalam setiap pembangunan yang sementara dijalankanya. Jangan karena ingin semuanya serba cepat sehingga aturan dilabrak begitu saja, apa lagi jika aturan itu berkaitan dengan lingkungan dan memberikan dampak sosial yang besar, pertumbuhan dan capaian pembangunan yang ada saat ini akan percuma jika nantinya akan memberikan kerugian karena ongkos yang besar dibutuhkan buat memperbaiki kerusakan tersebut apa lagi jika sudah ada korban, maka angka - angka pertumbuhan itu tak dapat menganti nyawa satu orang anak manusia.

Okey, saya pikir sudah cukup buat menuliskan kekhawatiran saya terkait omnibus law ini. Jika terdapat kekeliruan terkait hal yang saya sampaikan itu sepenuhnya tangung jawab dan kekurangan ilmu saya, dan saya akan senang hati jika anda bersedia mengkritik saya tapi jika anda dipecat, gaji anda terpotong, rumah dan tanah anda tergurus, sumber air dan hutan anda rusak itu bukan tangung jawab saya.

Sekian.

Posting Komentar

0 Komentar