![]() |
Pelabuhan ini sudah banyak membantu perekonomian masyarakat sekitar pelabuhan. Bapak yang tawarkan jasa angkut barang pun mendapatkan manfaatnya, namun berbeda dengan ibu penjual nasi kuning tadi, bapak ini berbeda. Sebagai jasa yang menawarkan tenaganya, yang berubah hanya perutnya yang semakin membuncit jika saya bandingkan dengan 13 tahun yang lalu.
Selain itu ratusan pasang mata menatap cemas ke arah lautan. Sebagai penumpang kami memiliki kecemasan yang sama, berharap kapal yang akan membawa kami menyeberang ke Kendari segera tiba. Di antara mereka, ada seorang ibu yang lelah menggendong anaknya, ada beberapa mahasiswa yang meninggalkan kenyamanan (kekhawatiran mungkin) rumah agar dapat merubah nasibnya melalui pendidikan, keyakinan yang sama dangan aku, saat 13 tahun lalu. Semoga 13 tahunnya tidak seperti aku saat ini. Terdapat juga seorang pedagang yang menggantungkan nasibnya pada barang bawaan. Kisah mereka berbeda, namun harapan mereka sama: sebuah perjalanan yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Namun, selama bertahun-tahun, harapan itu seringkali kandas di tengah riuhnya pelabuhan. Cerita tentang tiket yang harganya "di luar nalar", kursi yang menjadi rebutan, hingga sesaknya penumpang yang melebihi kapasitas sudah menjadi rahasia umum. Pelayaran Muna-Kendari, urat nadi yang menghubungkan dua daratan, seolah berdenyut dalam irama keluhan yang tak kunjung usai.
Kini, sebuah angin perubahan berhembus. Kehadiran pemain baru dalam bisnis pelayaran, MV Indomas Muna 1, telah memicu "perang tarif" dengan operator yang selama ini mendominasi, PT Pelayaran Dharma Indah. Harga tiket yang tiba-tiba menjadi lebih ramah di kantong disambut sorak-sorai oleh masyarakat. Namun, di balik euforia sesaat ini, tersembunyi sebuah pertanyaan besar: Apakah perang tarif ini akan menjadi akhir dari penderitaan penumpang, atau hanya sebuah babak baru dalam drama transportasi laut yang lebih rumit?
Tentu, opini ini bukan dari seorang pakar transportasi. Meski kebetulan Saya sempat menyelesaikan studi pada Jurusan Teknik Perencaan Wilayah dan Kota di UIN Alauddin Makassar dan pernah mendapat mata kuliah manajemen transportasi tapi mata kuliah ini juga yang buat saya harus tertinggal lebih lama di kampus. Hehehehehe 😭😭.
Jadi tulisan ini, tidak lebih dari kekhawatiran seorang penguna jasa kapal penyebrangan (penumpang).
Masalahnya Itu Saja Tapi Suka Diabaikan
Jika dinding Pelabuhan Raha bisa bicara, ia akan menceritakan ribuan keluh kesah yang sama, yang diulang dari tahun ke tahun. Masalah yang dihadapi penumpang bukanlah sekadar ketidaknyamanan, melainkan sebuah sistem yang seolah membiarkan mereka berada di posisi yang lemah. Akar masalah ini bercabang dan saling berkelindan, menciptakan sebuah ekosistem yang merugikan.
1. Tiket dengan dua wajah
Di satu sisi, ada tarif resmi yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 90 Tahun 2022, yaitu sebesar Rp140.000 untuk kelas ekonomi. Namun di sisi lain, ada harga riil di lapangan yang mencapai Rp160.000. Selisih Rp20.000 ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, namun bagi ratusan penumpang setiap hari, ia adalah bukti nyata bahwa aturan bisa dengan mudah diabaikan ketika tidak ada pengawasan yang ketat.
Selain itu praktik dari pertahana saat bereaksi terhadap kehadiran kompetitor baru untuk palayaran rute Muna - Kendari, dengan membanting harga Rp. 90.000,- jauh dari harga yang diatur pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 90 Tahun 2022, ini menjadi warning dan kehati-hatian bagi Pemda Muna, kelihaiannya memainkan tongkat kondektur instrumen alat musik lagi diuji.
2. Praktik penjualan tiket yang semrawut
Sedikit cerita pribadi, rumah saya berjarak kurang lebih 45 Km dan akan menghabiskan waktu tempuh sekitar 1 jam paling lambat untuk sampai di pelabuhan. Saat situasi permintaan lebih tinggi dan dibandingkan supply kuota shit kapal (biasanya waktu wisuda atau libur idul fitri ) maka para calon penumpang tentu berebutan untuk mendapatkan tiket ini, yang jadi persoalan adalah tiket kapal hanya dijual ofline pada outlet nya yg berada di lokasi pelabuhan. Sampai sini anda pasti paham, apa yang akan saya lakukan jika saya tetap berkeinginan untuk melakukan perjalanan ke kendari ?
Praktik seperti ini hampir ditemui pada semua pelabuhan-pelabuhan yang masih saja melakukan penjualan tiket secara offline.
Belum lagi drama-drama rebutan kursi dengan penumpang lainnya, semua yang pernah naik kapal cepat pasti pernah mendapatkan situasi ini atau mungkin anda sendiri yang bertengkar?
3. Keselamatan yang dikesampingkan
Ketika sebuah kapal menjual tiket melebihi kapasitas tempat duduknya, ia tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan, tetapi juga menempatkan ratusan nyawa dalam risiko. Overload penumpang adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Pernyataan Ketua DPRD Muna yang menyambut kehadiran kompetitor sebagai cara "menutup keran monopoli" dan peringatan Bupati Muna tentang adanya "sabotase" di masa lalu mengindikasikan bahwa masalah-masalah ini adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: sebuah pasar yang tidak sehat dan didominasi oleh satu pemain.
![]() |
Pedang Bermata Dua Bernama Persaingan
Hadirnya MV Indomas Muna 1 ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membawa berkah yang langsung dirasakan masyarakat. Perang tarif yang terjadi seketika memangkas harga tiket, memberikan kelegaan ekonomi bagi para pelancong. Secara teori, inilah keindahan dari sebuah kompetisi: ia memaksa para pelaku bisnis untuk berlomba-lomba merebut hati konsumen, baik melalui harga yang lebih murah maupun layanan yang lebih baik.
Namun, di sisi lain, persaingan yang tidak diatur bisa menjadi liar dan destruktif. Mari kita berkaca pada sebuah kisah dari Selat Sunda, di jalur penyeberangan Bojanegara-Bakauheni. Di sana, persaingan ketat antara kapal ferry modern (ASDP) dan kapal jenis Landing Craft Tank (LCT) yang berstandar lebih rendah justru menciptakan anomali. Kapal-kapal LCT, yang memiliki regulasi lebih longgar terkait muatan, berhasil merebut pasar dari kapal ferry yang harus patuh pada aturan keselamatan yang ketat. Akibatnya, kapal yang lebih aman justru kesulitan mendapatkan muatan, sementara kapal yang berpotensi lebih berisiko justru berjaya.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi Muna dan Kendari. Perang tarif memang menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi jika ia berubah menjadi ajang "bakar uang" tanpa aturan main yang jelas, dampaknya bisa berbahaya. Operator bisa saja terdorong untuk memangkas biaya operasional di sektor-sektor krusial, seperti perawatan kapal dan standar keselamatan, demi menawarkan harga termurah. Jika salah satu pemain akhirnya tumbang dan keluar dari pasar, maka monopoli akan kembali, dan bukan tidak mungkin dengan cengkeraman yang lebih kuat dari sebelumnya. Kemenangan sesungguhnya bagi publik bukanlah sekadar tiket murah, melainkan sebuah ekosistem transportasi yang berkelanjutan, di mana keselamatan dan kualitas layanan menjadi prioritas utama.
Tongkat Konduktor di Tangan Pemerintah Daerah
Dalam orkestra persaingan bisnis ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Muna memegang peran sebagai seorang konduktor. Tugasnya bukanlah memainkan salah satu alat musik, melainkan memastikan semua instrumen bermain dalam harmoni untuk menghasilkan sebuah simfoni pelayanan publik yang indah. Memihak pada salah satu pemain, baik sang petahana maupun sang penantang, hanya akan merusak irama pasar dan mengorbankan kepentingan jangka panjang masyarakat.
Untuk itu, ada tiga langkah strategis yang harus segera diambil oleh Pemda Muna sebagai sang konduktor:
1. Menjadi Wasit yang Adil, Bukan Pemain Cadangan.
Pemerintah harus berdiri tegak sebagai penegak aturan yang tidak pandang bulu. Regulasi yang ada, terutama Pergub tentang tarif batas atas, harus ditegakkan dengan sanksi yang jelas bagi siapapun yang melanggar. Standar keselamatan, kelayakan kapal, dan kapasitas penumpang harus diberlakukan secara seragam untuk semua operator. Jangan ada lagi perbedaan perlakuan. Keadilan regulasi adalah fondasi dari persaingan yang sehat.
2. Menjadikan Keselamatan dan Kenyamanan Penumpang sebagai Panglima Tertinggi.
Fokus pemerintah tidak boleh hanya pada angka di tiket. Pengawasan di lapangan harus diperketat. Selain itu menyediakan platform online terpadu yang bisa diakses semua operator. Lakukan inspeksi mendadak secara rutin untuk memastikan jumlah penumpang tidak melebihi kapasitas manifes. Bentuk saluran pengaduan publik yang responsif, di mana setiap keluhan penumpang didengar, dicatat, dan ditindaklanjuti.
3. Membangun Panggung Kompetisi yang Sehat, Bukan Arena Gladiator.
Pemerintah perlu mencegah perang tarif yang saling mematikan. Salah satu caranya adalah dengan mempertimbangkan penetapan tarif batas bawah. Ini bukan untuk memanjakan operator, tetapi untuk mencegah praktik predatory pricing yang bisa membunuh persaingan dan melahirkan kembali monopoli. Selain itu, fasilitasi dialog antara para operator untuk menyepakati standar pelayanan minimum. Dengan demikian, mereka tidak lagi bersaing hanya dengan membanting harga, tetapi juga dengan meningkatkan kualitas: kebersihan kapal, ketepatan waktu, dan keramahan kru.
Penutup: Menuju Pelabuhan Harapan
Perang tarif di selat yang memisahkan Muna dan Kendari adalah sebuah momentum. Ia adalah alarm yang membangunkan kita semua dari tidur panjang dalam ketidakpuasan. Namun, harga tiket yang murah bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah gerbang pembuka menuju sebuah tujuan yang lebih besar: terwujudnya sebuah sistem transportasi laut yang manusiawi, adil, dan aman.
Masyarakat tidak butuh pahlawan dalam wujud satu perusahaan kapal, tetapi mereka butuh kepahlawanan dalam bentuk regulasi yang kuat dan pengawasan yang konsisten dari pemerintah. Tongkat konduktor itu kini ada di tangan Pemda. Saatnya memainkannya dengan bijak, untuk mengubah kebisingan perang tarif menjadi sebuah harmoni pelayanan publik yang membanggakan, membawa setiap penumpang berlayar bukan dengan rasa cemas, tetapi dengan senyum penuh harapan.
Catatan: Pandangan Penulis tidak berada pada posisi mendukung salah satu perusahan kapal penumpang yang berkompetitor, bukan juga di endorse oleh pihak lain atau ingin mengdiskreditkan pemerintah daerah yang sekarang. Jadi, jika anda membaca tulisan ini dengan analisir - analisir politiknya, tahan-tahan diri saja dan buang jauh-jauh asumsinya.
Semua kritik, perbedaan cara pandang disini bebas untuk disampaikan sejauh itu berkaitan dengan ide pembahasan yang ada pada tulisan.
Referensi:
- Lajur.co. (2024, 25 Maret). Keluhan Penumpang Kapal Cepat Kendari - Raha; Tetap Bayar Tiket Mahal Meski Tidak Dapat Kursi. Diakses dari https://www.lajur.co/keluhan-penumpang-kapal-cepat-kendari-raha-tetap-bayar-tiket-mahal-meski-tidak-dapat-kursi/
- Inspirasi Sultra. (2025, 10 Juli). Kapal Cepat MV Indomas Muna 1 Siap Operasional di Muna, Bupati dan Ketua DPRD Beri Dukungan Penuh. Diakses dari https://inspirasisultra.com/populer/2025/07/10/kapal-cepat-mv-indomas-muna-1-siap-operasional-di-muna-bupati-dan-ketua-dprd-beri-dukungan-penuh/
- Tempo.co. (2017, 20 April). Pengusaha ASDP Mengeluh Sulit Bersaing Dengan Kapal LCT. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/pengusaha-asdp-mengeluh-sulit-bersaing-dengan-kapal-lct-1277824


0 Komentar