Mengisolasi diri dalam rumah, membangun tembok raksasa, menutup ataupun membatasi mobilisasi pergerakan aktifitas manusia tentu langkah yang tepat untuk menghambat meluasnya penyebaran epidemi virus corona namun langkah ini berguna untuk jangka waktu yang pendek, jika hal ini terus dilakukan selama krisis pendemi berlangsung akan membuat kondisi ekonomi suatu negara berada dalam situasi yang sulit sehingga kepanikan sosial bisa saja tak terhindarkan.
Kematian manusia dengan jumlah besar salah satunya disebabkan oleh penyakit menular (virus) dimana organisme kecil berproduksi dengan cepat dan mengantungkan hidup dengan mengorbankan kita manusia, menumpang hidup dari tubuh ke tubuh pada kutu, cacing dan spesies lainya. Epidemi telah membunuh jutaan orang, memusnahkan seluruh peradaban, dan menyengsarakan penduduk yang terjangkiti oleh virus.
Nenek moyang manusia akan selalu kreatif, menjawab persoalan - persoalan yang tak dapat dikenali dan mencari jawaban setiap fenomena alam yang terjadi. Ketidaktahuan atau kepasrahan atas penyebab kematian yang menimpa anggota kelompoknya, selalu dijawab dengan mencari kambing hitam terhadap amukan para dewa, adanya roh jahat, praktek perdukunan, pengorbanan nyawa gadis perawan dan sejumlah ritual - ritual lainya. Meski praktek seperti ini dapat memberikan ketentraman batin bagi anggota komunalnya namun wabah penyakit tak dapat hilang atau anggota kelompok lainya menjadi kebal dari serangan virus, hanya dengan semburan air kakek tua ke wajah para penduduk yang berharap dapat melihat matahari keesokan harinya.
Sebelum revolusi industri meledak pada abad 19, jauh sebelum manusia mengenal android, aluminium yang dapat terbang, memiliki kendaraan besi tercepat 435 km/jam, sebelum manusia memperdebatkan pakaian yang etis dan tidak, planet bumi telah kehilangan sebagian jumlah populasinya akibat serangan epidemi. Serangan cacar diperkirakan membunuh 300 juta jiwa dalam kurung waktu 10.000 SM - 1976. Dalam kurung waktu setahun ( 1918 - 1919) diperkirakan sepertiga populasi dunia atau 500 juta orang terinfeksi flu spanyol dengan korban jiwa 50 juta jiwa akibat virus H1N1 yang tersebar melalui unggas.
Di abad 21 meluasnya penyebaran virus dan kerentanan manusia untuk terjangkiti bukan hal yang mustahil mengingat semakin meningkatnya populasi serta mudahnya transportasi sehingga interaksi manusia semakin tak dibatasi oleh teritorial. Virus pun dapat berpindah dalam kurun waktu tidak lebih dari 24 jam dari lokasi ke lokasi lainnya akibat menempel pada manusia/barang/hewan yang melakukan aktivitas pergerakan. Transportasi memungkinkan hal itu terjadi dengan mudah.
Penyebaran virus corona yang terjadi di China pada awal tahun 2020 dalam kurung waktu tak lebih dari tiga bulan telah menyebar dibeberapa belahan negara benua eropa, Timur tengah, Afrika dan Asia Tenggara dan tak menutup kemungkinan wabah ini akan terus meluas ke negara negara lainya serta membuat orang semakin banyak terjangkiti. Menurud catatan WHO pertanggal 21 Maret 2020, penyebaran kasus korona telah terjadi 244.525 kasus di 159 negara dengan korban jiwa yang meninggal 10.031 jiwa.
Indonesia merupakan salah satu dari negara yang terpapar oleh virus corona. Pertanggal 21 Maret 2020 jumlah masyarakat Indonesia yang telah tercatat positif corona yakni 450 orang dan korban jiwa 38 orang. Hal ini menjadi catatan penting bukan saja pemerintah namun masyarakat Indonesia. Kejadian yang menimpah negara China, Italia, Iran serta sejumlah negara lain yang memiliki nasib sama dengan Indonesia telah memberikan satu gambaran jelas kepada kita. Jika kita tak berani mengambil langka tegas dengan membatasi kontak personal dan melakukan pembiaran untuk beraktifitas yang melibatkan kerumunan massal berarti kita memberi ruang bebas hambatan untuk tersebarnya virus makin meluas. Saat kontak person dibatasi dan sejumlah aktifitas ekonomi tentu mengalami penurunan, sejumlah pekerja mungkin akan kehilangan mata pencahariannya, namun tak ada langka yang kebijakan yang paling efektif selain melakukan kebijakan buruk ini.
Akan ada persoalan dilematis hadir, kita akan memilih untuk sementara waktu tak melakukan hal - hal yang akan kita senangi diluar rumah, bahkan sejumlah ritual ibadah menjadi begitu sangat berbeda dibanding saat sebelum menyebarnya pendemi, dan tepatnya kita memilih menekan kepentingan pribadi demi kebaikan sosial yang lebih besar.
Namun yang terjadi di Indonesia sangat jauh berbeda, keterpecahan dan perdebatan lebih banyak terjadi dari pada memberikan informasi yang dapat menghindarkan kehilangan nyawa manusia akibat virus ini. Masih saja ada sejumlah orang yang bebal untuk tetap melakukan aktivitas dengan sejumlah keyakinan tak mendasar bahwa dia akan terbebas dari virus ini.
Disaat epidemi seperti ini, memberikan informasi secara transparan dan coba belajar dari pengalaman negara - negara yang telah mengalami lebih dulu tersebarnya virus akan membuat kita lebih tanggap dan dapat meminimalisir korban berjatuhan. Sejarah kasus pandemi telah lama hadir dalam sejarah manusia, meski kehadiran epidemi virus baru selalu bermunculan dan virus lama semakin kuat namun pergulatan manusia melawan virus di akhir abad ke - 18 dengan penemuan vaksinasi, dan berakselerasi pada abad ke - 19 dengan penerimaan teori kuman penyakit telah memukul balik situasi ketidakberdayaan manusia menghadapi wabah virus.
Dari kejadian - kejadian masa lampau ada beberapa hal yang dapat manusia pelajari untuk bisa berhadapan dengan epidemi seperti virus corona. Menurud Yuhal Noah Harari, penulis buku Sapiens satu kenyataan penting bahwa manusia tak akan bisa melindungi diri sendiri dengan menutup berbatasan secara permanen. Dalam perang melawan virus, manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat. Tapi bukan perbatasan antar negara. Sebaliknya, ia perlu menjaga perbatasan antara dunia manusia dan lingkungan virus. Melakukan hal - hal kecil seperti mencuci tangan dengan sabun, membersihkan lingkungan, meningkatkan sistem perawatan kesehatan modern, merupakan tembok perbatasannya dan perawat, dokter, ilmuan berperan sebagai polisi patroli yang selalu akan memantau dan mengusir bila tembok perbatasan ini diterobos.
Selain itu sejarah juga memberi pelajaran kepada umat manusia, perlindungan nyata manusia dari epidemi adalah sains dan solidaritas global. Kemunculan epidemi di suatu tempat yang membunuh ribuan atau jutaan jiwa akan mengancam manusia lainya di tempat yang berbeda karena penyebaran yang sangat cepat. Kemenangan manusia melawan penyebaran wabah seperti smallpox yang telah menewaskan lebih dari 300 juta orang di abad ke 20 sudah tidak ada lagi, kasus terakhir didiagnosa di Somalia pada tahun 1977). Para peneliti berkerja dalam tim, bekerja keras dalam situasi yang tak pasti, mengumpulkan ide - ide dari seluruh dunia, sehingga pemberian informasi mengenai perkembangan epidemi virus di suatu tempat akan sangat membantu keberhasilan penelitian atau penanggulangan penyebaran virus.

0 Komentar